PERMASALAHAN PADA REMAJA
Kenakalan
remaja merupakan salah satu dari sekian banyak masalah sosial yang
semakin merebak pada waktu sekarang ini. Masalah sosial sering dikaitkan
dengan masalah perilaku menyimpang dan bahkan pelanggaran hukum atau
tindak kejahatan. Upaya rehabilitasi dianggap lebih tepat untuk
mengatasi masalah kenakalan remaja. Hal ini karena remaja adalah
generasi penerus yang masih memungkinkan potensi sumberdaya manusianya
berkembang, sehingga pada saatnya akan menggantikan generasi sebelumnya
menjadi pemimpin-pemimpin bangsa.
Pada
saat ini semakin berkembang bentuk penyimpangan perilaku yang dilakukan
remaja. Kenakalan remaja tidak hanya berbentuk bolos sekolah, mencuri
kecil-kecilan, tidak patuh pada orang tua, tetapi mengarah pada tindakan
kriminal, seperti perkelahian masal antar pelajar (tawuran) yang
menyebabkan kematian, perkosaan, pembunuhan dan lain-lain. Di Amerika
Serikat hampir lebih dari 40 % orang-orang yang melakukan kejahatan
serius adalah anak-anak remaja nakal. Ditemukan setiap harinya 2500 anak
lahir di luar pernikahan, 700 anak lahir dengan berat badan rendah,
135.000 anak membawa senjata tajam ke sekolah, 7.700 anak umur belasan
melakukan kegiatan seksual aktif, 600 anak umur belasan mengidap syphilis atau gonorhoe,
dan 6 anak umur belasan memutuskan untuk bunuh diri (Horn, 1991). Di
Indonesia tercatat pada Direktorat Bimbingan Masyarakat POLRI, bahwa
pada tahun 1994 menangkap 1.261 pelaku perkelahian antar pelajar dan
pada tahun 1998 data ini telah meningkat menjadi 18.946 pelaku yang
ditangkap (Justika, 1999).
Kenakalan Remaja
Menurut C. Zastrow (1982), Juvenile Deliquency
atau kenakalan remaja adalah label perilaku-perilaku, seperti
menjauh/menghindar dari sekolah, dari kebosanan, dari orang tua yang
menterlantarkan, dari kesulitan diri, dari rumah yang bermasalah, dari
situasi rumah yang membosankan, dari rumah yang tidak bahagia, dari
kehidupan yang sulit, dan dari kesulitan yang satu ke kesulitan yang
lain. Perilaku mereka berkisar dari perilaku agresi pasif (bolos
sekolah) ke perilaku kenakalan atau kejahatan, perilaku yang tidak dapat
dikendalikan (menentang aturan-aturan disiplin keluarga, minggat,
mencuri kecil-kecilan di toko) ke perilaku agresi aktif dan kejahatan (vandalisme
/ merusak tanpa alas an, membakar rumah dengan sengaja, dan penyerangan
secara fisik). Mereka berumur di bawah 17 tahun dan berasal dari semua
tingkatan ekonomi (orang kaya, berpenghasilan menengah, pegawai tapi
miskin, dan miskin akut), dan single parent maupun keluarga utuh, laki-laki maupun perempuan, dan tidak mengenal ras.
Menurut Parillo, Stimpson dan Stimpson (1985), yang tergolong remaja nakal adalah mereka yang ditangkap, seperti :
-
Anak laki-laki yang ditangkap lebih daripada anak perempuan
-
Angka penangkapan untuk kenakalan yang paling tinggi di kota-kota paling besar , yang paling tinggi berikutnya di daerah-daerah subur, dan yang paling rendah adalah di wilayah-wilayah pedesaan. Pola ini sama dalam semua bentuk kejahatan.
-
Angka penangkapan yang paling tinggi adalah kalangan anak-anak yang berasal dari keluarga pecah (single parent) dan keluarga yang sangat besar.
-
Mereka yang ditangkap biasanya berakibat buruk di sekolah, menyebabkan putus sekolah atau prestasinya rendah di bawah rata-rata.
-
Mereka yang ditangkap biasanya tinggal di wilayah-wilayah yang bercirikan adanya deprivasi sosial dan ekonomi (tempat tinggal lebih penting daripada status keluarga dilihat dari resiko ditangkap).
Penyebab Kenakalan Remaja
Manusia,
termasuk anak dan remaja adalah mahluk sosial yang senantiasa melakukan
interaksi yang terbuka dengan berbagai faktor yang sulit dideteksi
secara jelas, dan memungkinkan lebih bersifat individual. Profesi
pekerjaan sosial merupakan profesi yang bertanggung jawab atas masalah
sosial kenakalan remaja, menunjuk ketidakmampuan orang tua sebagai penyebab kenakalan remaja, yang dalam hal ini berarti keluarga. Orang
tua seharusnya memiliki kompetensi untuk mengendalikan anak-anak
mereka, terutama yang sedang memasuki masa remaja. Sosiolog memandang
disorganisasi sosial sebagai penyebab terjadinya kenakalan semaja,
sedangkan psikolog mengacu pada pandangan Freud, bahwa kenakalan remaja disebabkan oleh terjadinya inner conflict, kelabilan emosional dan emosi alam bawah sadar lainnya.
Keluarga sering dianggap sebagai sumber tunggal dari banyak masalah sosial. Teoritisi Fungsionalis
beranggapan bahwa ketidakmampuan kelompok tertentu, terutama
orang-orang miskin dan para imigran, mengakibatkan anak-anak mereka
mencari hubungan-hubungan alternatif seperti gang, kelompok kriminal,
dan kelompok sebaya yang menyimpang lainnya. Teoritisi Interaksionist
mempelajari pola-pola interaksi keluarga sebagai petunjuk mengapa
beberapa anggota keluarga berubah menyimpang, misalnya :
keluarga-keluarga yang dikepalai oleh perempuan dan keluarga yang
pasangannya tidak menikah, tetapi menganut norma-norma keluarga
konvensional, sering mendapat stigma dan sumber masalah sosial. Bagi Teoritisi Konflik,
keluarga adalah sumber masalah sosial ketika nilai-nilai yang diajarkan
bertentangan dengan masyarakat yang lebih besar. Para sosiolog
mengabaikan perspektif teoritis tentang keluarga tersebut dan cenderung
memfokuskan pada apa yang dapat dilakukan oleh institusi-institusi dalam
masyarakat, terutama institusi-institusi kesejahteraan sosial, untuk
mempertahankan dan memperkuat stabilitas keluarga.
Keluarga
sebagai iakatan sosial pertama yang dialami oleh seseorang. Di dalam
keluargalah anak belajar untuk hidup sebagai mahluk sosial yang
berinteraksi dengan orang lain dalam lingkungannya (learning to live as a social being)
(Brill, 1978). Keluarga merupakan wadah pertama bagi seseorang untuk
mempelajari bagaimana dirinya merupakan suatu pribadi yang terpisah dan
harus berinteraksi dengan orang-orang lain di luar dirinya. Interaksi
sosial yang terjadi dalam keluarga ini merupakan suatu komponen vital
dalam sosialisasi seorang manusia. Anak akan menyerap berbagai macam
pengetahuan, norma, nilai, budi pekerti, tatakrama, sopan santun, serta
berbagai keterampilan sosial lainnya yang sangat berguna dalam berbagai
kehidupan masyarakat. Anak akan belajar bagaimana memikul rasa bersalah,
bagaimana menghadapi secara konstruktif berbagai tanggapan anggota
keluarganya yang lain, anak akan mengembangkan rasa percaya diri, harga
diri, kepuasan, dan cinta kasih terhadap sesama mahluk. Dengan demikian,
keluargalah pelaku pendidikan utama bagi seorang anak menjadi manusia
secara penuh, manusia yang mampu hidup bersama manusia lain dalam
lingkungannya yang diliputi suasana harmonis, bukan manusia congkak yang
memiliki dorongan agresi, merusak, dan mengganggu lingkungan sosialnya.
Suatu
keluarga yang penuh dengan kehangatan, cinta kasih, dan dialog terbuka
akan diserap oleh anak dan dijadikan sebagai nilainya sendiri. Hal
inilah yang menjadi landasan kuat anak dalam berinteraksi dengan orang
lain di masyarakat yang lebih luas. Pada kenyataannya, keluarga dengan
kondisi seperti itu tidak selalu terbentuk. Banyak keluarga yang penuh
dengan kekerasan, akibat berbagai situasinya tidak sempat mendidik
anaknya menjadi manusia yang secara sosial memiliki kematangan, misalnya
anak yang hanya diarahkan kepada pembantu rumah tangga dari pagi hingga
malam hari, enam hari dalam seminggu, akibat kedua orang tuanya harus
bekerja mencari nafkah. Banyak keluarga yang merasa lingkungan sosialnya
kurang aman sehingga melarang anak-anaknya bergaul di luar rumah,
sedangkan orang tuanya sendiri sibuk dengan pekerjaannya. Keluarga akan
menghasilkan manusia yang “kering”, “kerdil” dan “tidak bersahabat”.
Inilah yang memungkinkan menjadi pra kondisi bagi kenakalan anak dan
remaja. Anak akan menyerap perilaku, kebiasaan, tatakrama, serta norma
yang berasal dari televisi tanpa mendapat bimbingan yang cukup berarti
dari kedua orang tuanya. Anak akan menyerap tanpa evaluasi, atas
perilaku orang lain yang diamatinya.
Perubahan Keluarga dan Kenakalan Remaja
Unit
keluarga adalah sekelompok individu-individu yang satu sama lain
dihubungkan baik oleh darah, maupun oleh institusi seperti perkawinan.
Didalam kelompok tersebut biasanya terdapat pembagian wewenang
(otoritas), hak tanggung jawab, serta peran-peran ekonomi dan seks.
Definisi keluarga mungkin berbeda antara masyarakat yang satu dengan
yang lainnya, yang menimbulkan perbedaan pula dalam standar perilakunya.
Unit Nuclear Family terdiri atas ayah, ibu, dan anak-anak mereka, dan Extended Family, terdiri atas orang tua, anak-anak, kakek-nenek, bibi, paman dan lain-lain yang tinggal bersama. Pada extended family, orang tua mempertahankan otoritas atas perkawinan diantara sepupu dilarang. Pada nuclear family unit keluarga tidak tergantung, perkawinan antar sepupu dianggap normal. Nuclear family adalah tipe keluarga yang menonjol dalam masyarakat industri, sedangkan extended family banyak ditemukan pada kultur masyarakat agraris.
Menurut W. Kornblum (1989), dewasa ini keluarga mengalami perubahan-perubahan dari extended family menjadi nuclear family, dan single earner menjadi dual earner,
dari agraris ke industri dan teknologi. Bahkan definisi keluargapun
berubah dari kumpulan orang-orang yang didasarkan pada hubungan darah
atau perkawinan menjadi atas dasar companionship
(kesepakatan atau komitmen) saja, seperti yang dilakukan oleh para kaum
homo seksual di Amerika Serikat. Bila perubahan-perubahan ini tidak
menimbulkan akibat negatif pada fungsi utama keluarga, yaitu memelihara
dan membesarkan anak, mungkin bukan masalah. Akan tetapi, bila terjadi
sebaliknya maka itu adalah sebuah masalah.
Semua
keluarga secara kontinyu berubah, sebab mereka harus secara konstan
menyesuaikan diri dengan siklus perkembangan keluarga, dimana
peran-peran dari semua anggota keluarga berubah. Misalnya, sebagian
besar keluarga melampaui tahap-tahap pra nikah, membesarkan anak,
kesepian, dan pensiun. Selama dalam tahap dan pada masa transisi ke
tahap yang lain, keluarga menghadapi tantangan untuk mempertahankan
stabilitas atau kontinuitas, sehingga berfungsi secara memadai. Menurut
Glasser dan Glasser (1965) ada lima kriteria keluarga berfungsi memadai,
yaitu :
-
Konsistensi peranan internal di antara anggota keluarga.
-
Konsistensi peran-peran dan norma-norma keluarga, serta penampilan peran aktual.
-
Penyesuaian peran-peran dan norma-norma keluarga dengan norma-norma masyarakat.
-
Kemampuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan psikologis anggota-anggota keluarga.
-
Kemampuan keluarga dalam merespons perubahan-perubahan.
Kegagalan
melaksanakan fungsi-fungsi ini dapat menimbulkan masalah-masalah dalam
keluarga. Kegagalan tersebut biasanya tanpa sengaja dan mengakibatkan
krisis internal dan eksternal. Krisis eksternal
berasal dari luar, misalnya orang tua menganggur karena terkena PHK.
Ini dapat mengakibatkan orang tua kehilangan harga diri dan otoritas,
dan senua anggota akan takut dan cemas karena tidak adanya jaminan
ekonomi. Krisis internal muncul dalam keluarga sebagai akibat, misalnya salah seorang anak mengalami mental disorder,
ketidaksetiaan perkawinan dan lain-lain. Perubahan besar dalam satu
peran keluarga dapat mempengaruhi krisis internal, misalnya orang tua
yang tiba-tiba memutuskan untuk bekerja disamping mengurus anak, atau
tiba-tiba berhenti bekerja.
Tekanan-tekanan dan masalah-masalah interpersonal lainnya dapat menimbulkan “empty shell”
dalam keluarga, yaitu tidak lagi memiliki perasaan kehangatan dan
kemenarikan diantara anggota-anggota keluarga karena tekanan dari luar.
Di dalam keluarga tidak ada lagi strong attachment,
saling mengabaikan kewajiban, dan berkomunikasi seminimal mungkin.
Situasi rumah seperti demikian merupakan tempat yang subur untuk tumbuh
dan berkembangnya masalah kenakalan anak dan remaja. Rumah atau keluarga
yang bahagiapun dapat mengakibatkan terjadinya masalah kenakalan
remaja, bila keluarga lost event dalam memperhatikan anak remajanya.
Model Pendekatan Dalam Memahami Remaja
Kenakalan
anak dan remaja merupakan hal yang harus diperhatikan oleh orang tua
dalam upaya pemecahannya. Tidak mudah untuk mendekati mereka tanpa
memahami siapa mereka dan dalam kondisi apa. Jones dan Pritchard (1985)
mengemukakan lima model pendekatan untuk memahami remaja, yaitu :
1. Model Konstitusi (Constitutional Model)
Model
ini memahami remaja dari perkembangan biologis dan fisiologis.
Perkembangan fisik dan biologis yang terlalu dini atau terlalu lambat
dapat menimbulkan masalah bagi remaja, terutama dalam menyesuaikan
dirinya dengan lingkungan. Misalnya anak perempuan terlalu cepat
mengalami menstruasi dan mengalami pembesaran buah dada, atau sebaliknya
terlambat (sudah lewat masa remaja) belum mengalami masa menstruasi dan
buah dadanya masih belum muncul. Hal ini dapat menimbulkan kepanikan,
rendah diri, yang akhirnya sulit berkomunikasi dan tidak dapat
menyesuaikan dengan lingkungan. Demikian pula dengan perkembangan
biologis dan fisiologis anak laki-laki, misalnya mimpi basah, tumbuh
bulu dan lain-lain. Peran orang tua
dalam hal ini sangat penting untuk membimbing mempersiapkan berbagai
kemungkinan menghadapi perkembangan biologis dan fisiologis.
2. Model Krisis Identitas (Identity Crises Model)
Model
ini memahami remaja berdasarkan pemahaman remaja terhadap identitas dan
konsep dirinya. Memandang remaja mengalami krisis identitas, belum
memiliki kejelasan tentang siapa dirinya, apa potensinya dan apa
kekurangannya. Berdasarkan model ini, remaja harus dibantu untuk
menjawab pertanyaan siapa saya?, sehingga memperoleh kejelasan tentang
konsep diri dan identitas dirinya. Bila tidak, remaja akan
mengidentifikasi dan melakukan imitasi identitas orang lain, terutama
tokoh idolanya sebagai dirinya. Masalah muncul bila tokoh yang menjadi
idolanya adalah tokoh mafia, yang sering digambarkan sebagai pembunuh
berdarah dingin. Dalam hal ini peran orang tua dan para profesional
yang berkepentingan mempunyai tanggung jawab untuk membantu remaja agar
memiliki kejelasan terhadap identitas dan konsep dirinya.
3. Model Kebutuhan (Need Model)
Mengacu
pada teori kebutuhan untuk memahami remaja. Menurut teori kebutuhan
Maslow (1970), bila kebutuhan fisiologis dan kebutuhan akan rasa aman
terpenuhi, maka pemenuhan kebutuhan-kebutuhan lainnya tidak akan banyak
menemukan kesulitan yang berarti. Kedua kebutuhan tersebut sangat
berpengaruh pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan remaja yang lainnya.
Remaja sering menampilkan perilaku kasar bila perutnya lapar, kurang
tidur an perasaannya tidak aman. Dalam hal ini orang tua sangat berperanan untuk menjamin pemenuhan kebutuhan fisiologis dan rasa aman remaja.
4. Model Belajar Sosial (Social Learning Model)
Memandang
bahwa remaja sangat sensitive atas model-model perilaku di
lingkungannya. Bandura (1970) mengemukakan sebuah teori bahwa apabila
seseorang terekspos pada satu model perilaku, kemudian exposure tersebut terjadi berulang-ulang (repetition), maka akan terjadi retention (penyimpanan dalam long-term memory). Bila ini terjadi, maka seseorang tersebut akan mengikuti model perilaku tersebut. Exposure
ini biasanya dialami remaja dari media massa terutama televisi atau
dari lingkungan sebayanya. Bila model perilaku yang menempa remaja
tersebut ternyata dianggap cocok, maka remaja akan mengikuti model
perilaku tersebut. Selain itu, pada saat berkumpul dengan lingkungan
kelompoknya, biasanya mereka berperilaku sama, yang sebenarnya merupakan
hasil belajar sosial. Masalah muncul apabila model perilaku yang
mengeksposnya adalah model perilaku negatif atau menyimpang. Orang tua dan para profesional
yang berkepentingan juga mempunyai tanggung jawab dalam hal mencegah
tereksposnya remaja pada model-model perilaku negatif atau menyimpang,
atau mempersiapkan remaja agar memiliki ketahanan dalam menghadapi
pengaruh model-model perilaku tersebut.
5. Model Stress (Stress Model)
Memandang bahwa setiap orang pasti mengalami stress pada suatu saat. Kemampuan mengatasi stress (Coping Ability)
sangat berperanan. Stress yang tidak teratasi akan mengakibatkan
kecemasan, baik kecemasan ringan, seperti berkeringat, sampai kecemasan
berat seperti psikosomatis.
Daya untuk mengatasi atau mengelola stress pada diri remaja perlu
dikembangkan. Banyak kasus-kasus kenakalan remaja disebabkan oleh stress
dan rendahnya kemampuan untuk mengatasi. Pelatihan-pelatihan untuk
mengatasi stress dapat membantu para remaja mengembangkan coping ability.
Pemberdayaan Untuk Memperkuat Keluarga
Pemberdayaan
keluarga yang ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan yang
berhubungan dengan perkembangan anak dan remaja didasarkan atas
asumsi-asumsi untuk memperkuat keluarga. Seorang Pekerja Sosial
yang menggunakan model pemberdayaan didalam prakteknya akan mampu
membantu keluarga yang mengalami masalah dimana : 1) mereka sama sekali
tidak bertanggung jawab terhadap masalahnya akan tetapi akan bertanggung
jawab terhadap solusi terhadap masalah tersebut; 2) membantu
profesional dalam mencapai keahlian yang dapat digunakan dalam proses
pemecahan masalah; 3) resolusi masalah yang menuntut kolaborasi antara
keluarga dan “penolong” sebagai suatu kesatuan; 4) relasi mereka dengan
beberapa institusi sosial akan mempengaruhi etiologi dan terpeliharanya
masalah yang dialami oleh mereka, misalnya relasinya dengan polisi,
rumah sakit, sekolah, lembaga probasi; 5) sistem tidak monilitis tetapi
terbentuk dari subsistem dan cara-cara yang efektif yang berhubungan
dengan sistem ini dapat dipelajari dalam cara yang sama dimana relasi
dengan individu-individu dapat dipelajari.
1. Enabling
Asumsi
dari strategi ini adalah bahwa keluarga mungkin memiliki sumber-sumber
yang tidak selalu dikenali sebagai hal yang bermanfaat didalam
pencapaian sistem apa yang keluarga butuhkan. Enabling
menunjuk pada tindakan pekerja sosial untuk menyediakan informasi atau
kontak yang akan memberikan kemampuan terhadap keluarga untuk
memanfaatkan sumber-sumber yang ada pada keluarga lebih efektif.
Keluarga mencoba untuk memperoleh pelayanan dukungan khusus untuk
anaknya yang mengalami kegagalan di sekolah. Keluarga diberikan
kemampuan untuk dapat menghadapi otoritas sekolah dan mendapatkan
pelayanan.
2. Linking
Asumsi
strategi ini bahwa keluarga dapat memperbesar kekuatannya sendiri
melalui berhubungan dengan orang lain yang dapat menyediakan
persepsi-persepsi dan atau kesempatan-kesempatan baru. Mungkin keluarga
berhubungan dengan orang lain untuk menyediakan kekuatan kolektif yang
dapat membuat lebih kuat didalam menghadapi sistem. Linking
menunjuk pada tindakan yang dilakukan oleh pekerja sosial untuk
menghubungkan keluarga-keluarga kepada keluarga-keluarga lain, kelompok
atau jaringan kerja.
3. Catalyzing
Asumsi
strategi ini bahwa keluarga memiliki sumber-sumber akan tetapi sumber
tambahan dibutuhkan sebelum sumber yang ada pada keluarga digunakan
secara penuh. Sebagai contoh, apabila orang tua memiliki keterampilan
kerja, maka mereka akan membutuhkan pekerjaan sebelum keterampilan
tersebut digunakan. Catalyzing
menunjuk pada tindakan pekerja sosial untuk mendapatkan sumber-sumber
yang menjadi prasyarat untuk keluarga menggunakan secara penuh
sumber-sumbernya yang sudah ada.
4. Priming
Asumsi
strategi ini bahwa banyak sistem dimana keluarga yang tadinya memiliki
respon negatif, diarahkan kepada pemberian respon yang lebih positif.
Keluarga menjadi berpengalaman didalam berhubungan dengan konflik.
Sebagai contoh, seorang ibu diberi kemampuan untuk mendiskusikan reaksi
anak laki-lakinya terhadap situasi stress di rumah dengan konselor
sekolah dan gurunya.
Kesimpulan
Masalah
kenakalan anak dan remaja tidak memandang tempat maupun status sosial
ekonomi, ada pada setiap lapisan masyarakat, di kota maupun di desa,
pada lingkungan kaya maupun miskin. Keluarga sebagai penyebab tidak
langsung terjadinya kenakalan remaja selain masyarakat.
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam keluarga, misalnya dari single earner menjadi dual earner
mengakibatkan ibu rumah tangga berkurang waktunya untuk memperhatikan
anaknya. Perubahan ini juga memberikan kontribusi pada semakin besarnya
peluang terjadinya perceraian. Fenomena empty shell
juga dapat disebabkan oleh perubahan akibat tidak langsung terjadinya
kenakalan remaja, sebab kebutuhan akan rasa aman remaja tidak terpenuhi.
Kenakalan remaja dapat difahami melalui lima model pendekatan, yaitu model konstitusional, yang memahami remaja dari perkembangan fisiologis dan biologis; model krisis identitas untuk memahami kesulitan remaja dalam menemukan jati dirinya; model kebutuhan yang memahami remaja dari kondisi pemenuhan kebutuhan dasar manusia; model belajar sosial untuk memahami bagaimana perilaku remaja sebagai hasil belajar dari lingkungannya; dan model stress untuk memahami bagaimana kemampuan remaja dalam mengatasi stress (coping ability).
Keluarga,
bagaimanapun merupakan sumber terjadinya masalah kenakalan remaja, akan
tetapi keluarga juga merupakan sumber untuk mencegah dan mengatasi
kenakalan remaja. Hal ini sejalan dengan aliran konservatif yang
menganggap bahwa keluarga, utamanya yang memiliki orang tua lengkap,
merupakan institusi yang sangat penting sebagai tempat anak untuk tumbuh
dan berkembang ke arah yang memadai dengan menerapkan nilai dan
moralitas yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat. Demikian pula
Parsons (1964) dan Parsons & Bales (1956) mengatakan bahwa
modernisasi akan melunturkan dan mengurangi fungsi keluarga. Fungsi
sosialisasi anak dan tention.